ASAL MUASAL KRETEK


Berdasarkan ringkasan buku Hikayat Kretek karya sejarawan Amen Budiman dan Onghokham.

Nama Haji Jamhari disebut-sebut sebagai penemu dan produsen rumahan bawal rokok kretek di Kudus, Jawa Tengah, sekitar akhir abad ke-19. Penemuan kretek sendiri dapat dikatakan sebagai kebetulan.

Saat itu, Jamhari merasakan sesak di dada. Berbagai cara ia lakukan untuk meredakan rasa sakitnya. Misalnya, dengan mencoba menggosokkan minyak cengkeh di bagian dada dan pinggang. Lalu ia mencoba mengunyah cengkeh dan sakit yang dirasakannya mulai membaik.

Jamhari juga mencoba menggunakan rempah-rempah yang ada sebagai obat. Yaitu dengan cara potongan cengkeh dioplos dengan tembakau menggunakan kulit jagung kering (klobot) kemudian diikat, dan dibakar. Asap yang diisapnya pun masuk ke paru-paru.

Pembakaran dari kulit jagung tersebut menghasilkan bunyi “keretek” atau “kemretek” yang melahirkan istilah kretek. Informasi mengenai hal yang dilakukan Jamhari langsung menyebar di wilayah Kudus. Para tetangga beramai-ramai ingin mencoba kretek buatan Jamhari.

Akhirnya Jamhari mendirikan perusahaan kecil untuk pembuatan kretek tersebut. Awalnya perdagangan kretek milik Jamhari hanya beredar di kawasan Kudus dan sekitarnya saja. Jamhari meninggal sekitar tahun 1880 dan menjadi patokan perkiraan industri kretek di Kudus dimulai.

AWAL USAHA KRETEK

Mbok Nasilah, yang juga dianggap sebagai penemu rokok kretek, menemukan rokok kretek pada sekitar tahun 1870 untuk menggantikan kebiasaan nginang. Mbok Nasilah sering menyuguhkan rokok temuannya kepada para kusir di warungnya, yang sekarang menjadi toko kain Fahrida di Jalan Sunan Kudus. Kebiasaan nginang yang sering dilakukan para kusir membuat warung Mbok Nasilah kotor, jadi ia berusaha menghindari kotoran dengan merokok. Pada awalnya, ia mencoba meracik rokok. Salah satunya adalah dengan menambahkan cengkih ke dalam tembakau.

Setelah itu, Nitisemito seorang kusir dokar dan penjual tembakau menikahi Nasilah dan menjadikan bisnis rokok kreteknya sebagai sumber pendapatan utamanya. Proses ini berkembang dengan cepat. Nitisemito menyebut rokoknya “Rokok Tjap Kodok Mangan Ulo”, yang berarti “Rokok Cap Kodok Makan Ular.” Memang, nama ini tidak mewakili hoki dan bahkan membuat orang tertawa n hingga akhirnya tercetus logo tiga lingkaran.

Para penikmat kretek milik Nitisemito secara beragam menyebut logo tersebut dengan “tiga lingkaran”, ada yang menyebut “tiga bola” atau “Bal Tiga”. Dengan merek tersebut, usaha kretek produksi Nitisemito mendapat izin resmi dari Pemerintah Hindia-Belanda.

MUSEUM ROKOK KRETEK KUDUS

Museum Kretek ini adalah satu-satunya di Indonesia. Pada tahun 1986, Museum Kretek diresmikan di atas lahan seluas 2,5 hektare, berkat inisiatif dari Soepardjo Rustam, Gubernur Jawa Tengah.

Ide ini muncul saat Soepardjo mengunjungi Kudus dan menyadari potensi besar industri kretek dalam menggerakkan perekonomian lokal. Museum ini menggambarkan kisah sejarah kretek melalui 1.195 koleksi, termasuk jejak perusahaan kretek seperti Pabrik Rokok Bal Tiga yang didirikan oleh Nitisemito.

Museum Kretek mengumpulkan, merawat dan mengkomunikasikan benda-benda sejarah kretek sebagai warisan kearifan budaya lokal bangsa Indonesia serta sebagai pusat informasi edukasi dan rekreasi yang perlu dikembangkan dan dipelihara keberadaannya.

Mendorong masyarakat pemerhati budaya untuk peduli keberadaan Museum Kretek sebagai wujud turut serta dalam pelestarian budaya Indonesia. Melakukan kegiatan dokumentasi, penelitian, penyajian informasi dan mengkomunikasikan kepada masyarakat agar dapat dimanfaatkan sepenuhnya bagi kepentingan edukasi dan memperluas lapangan kerja.

Sumber : diolah dari berbagai sumber liputan6.com,detik.com,laman museum kretek
https://museum.kemdikbud.go.id/museum/profile/museum+kretek